KELASTER.COM – GEDSI adalah akronim dari Gender, Disabilitas dan Inklusi Sosial. GEDSI merupakan pendekatan pembangunan yang lebih konprehensif dari pendekatan pembangunan sebelumnya (gender saja) yang lebih menfokuskan pada kesetaraan dan keadilan pembangunan pada perempuan dan laki-laki dalam hal Akses, Partisipasi, Kontrol dan Manfaat.
Hal itu diungkapkan oleh Juru Bicara ANH TQ Bidang GEDSI, Asni Tande, SH. Rabu, 25/9/2024.
Menurut Asni, GEDSI sesungguhnya jauh lebih lengkap karena selain mmperhatikan kesetaraan dan keadilan berdasarkan jenis kelamin (perempuan dan laki-laki) tetapi juga melihat bagaimana perempuan dan laki-laki dari aspek lapisan-lapisannya (interseksionalitas-nya).
Pada diri seorang perempuan dan laki-laki, ada diantara mereka yang berstatus sebagai kepala rumah tangga, single parent, korban kekerasan rumah tangga, buruh migran, difabel, rentan, mengalami dikriminasi atau peminggiran (marginal), mengalami kemiskinan atau kemiskinan structural, penelantaran ekonomi, tidak tamat sekolah, buta huruf, pelaku usaha mikro bahkan mungkin supra mikro, menyandang streotip gender, dan masih banyak lagi lapisan-lapisan lainnya yang ada diantara perempuan maupun laki-laki,” urai Asni.
Dari berbagai lapisan-lapisan pada diri perempuan maupun laki-laki di atas, kata dia, perempuanlah yang paling banyak mengalami lapisan-lapisan itu (interseksionalitas). Mengapa hal ini terjadi?. Banyak faktor dan sangat complicated. Salah satu pemicunya adalah faktor budaya patriarki. Laki-laki dianggap memiliki posisi yang lebih tinggi dari perempuan dalam segala aspek kehidupan, seperti sosial, budaya, dan ekonomi. Patriarki dalam kehidupan bermasyarakat bahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sekalipun, patriarki sudah menjadi sistem.
“Budaya patriarki bisa menghasilkan ketidakadilan gender (gender inequality) dan memberikan dampak buruk dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Salah satu diantaranya adalah kekerasan laki-laki kepada perempuan. Patriarki memberi ruang kepada laki-laki untuk melegitimasi superioritas-nya kepada Perempuan sampai bisa terbentuk kuasa sosial,” jelasnya.
Asni menjelaskan warga negara lain yang menjadi perhatian GEDSI adalah mereka yang mengalami keterbatasan fisik dan/atau mental. Sebagai warga negara, difabel juga punya hak yang sama dseperti warga negara lainnya. Persoalan Pembangunan kita pada umumnya ada pada ketersediaan aksesibilitas. Bagaimana penyandang disabilitas diberi kemudahan untuk mengakses, menggunakan, dan mencapai suatu ruang, layanan di berbagai bidang pembangunan (pendidikan, kesehatan, ekonomi, ketenagakerjaan, transportasi, fasilitas public, dan sebagainya).
Lanjutnya, masih ada warga negara lain yag selama ini kurang mendapat perhatian dalam pembangunan yaitu kelompok rentan dan marginal. Setiap daerah punya permasalahan yang berbeda. Di Kota Parepare, kita punya warga penyandang/mantan penyandang kusta, penganut agama minoritas atau penganut kepercayaan (To Lotang), orang miskin. Mereka semua ini seharusnya mendapatkan akses, partisipasi, control dan manfaat pembangunan tanpa kecuali. Inilah yang disebut Inklusi sosial yaitu suatu upaya untuk menciptakan masyarakat yang adil, yaitu semua orang dan kelompok masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam semua bidang Pembangunan (ekonomi, sosial, politik, dan budaya).
“Jika ANH dan TQ insya Allah menjadi Walikota dan Wakil Walijota Parepare, maka pendekatan pembangunan yang akan diperkuat adalah pendekatan GEDSI. ANH dan TQ berkeinginan kuat memastikan bahwa semua orang, di Kota Parepare tanpa kecuali (Perempuan, lakilaki, anak, lansia, penyandang disabilitas, kelompok rentan dan marginal) semuanya memiliki akses yang sama terhadap berbagai bidang pembangunan,” tandasnya. (*)