Penulis: Eva Irawati, S.Si.,M.Pd (Tenaga Pendidik SMA Negeri 5 Parepare)
OPINI – Kebijakan social distancing sebagai langkah preventif penyebaran Covid-19 memiliki dampak perubahan perilaku terutama peserta didik dari kegiatan belajar mengajar di sekolah berubah menjadi Belajar Dari Rumah (BDR) atau Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Dengan adanya PJJ selama pandemi peserta didik tidak dapat berinteraksi dengan teman-temannya, guru maupun stakeholder yang ada disekolah, biasanya mereka bertemu dengan guru dan teman-temannya dengan penuh kehangatan dan kegembiraan dalam belajar dan mengerjakan tugas didampingi secara langsung oleh guru, kalau ada yang belum dimengerti bisa berkomunikasi langsung atau berdiskusi dengan teman-temannya.
Tetapi sekarang harus dikerjakan sendiri dirumah, terpaksa belajar dalam kondisi tidak biasa. Demikian juga dalam penggunaan gawai (HP) di sekolah sebelum pandemi peserta didik dilarang keras membawa HP tetapi sekarang diwajibkan menggunakan HP yang rentang waktunya cukup lama, suatu perubahan yang cukup drastis.
Pembatasan social dalam waktu relatif lama menyebabkan peserta didik merasa bosan karena harus berdiam diri di rumah dan tidak bisa berinteraksi langsung dengan teman-temannya. Sehingga peserta didik akan kehilangan jiwa sosialnya. Pada usia mereka seharusnya bebas bermain dengan teman-temannya, sekarang terpaksa tetap di rumah dengan alasan physical distancing.
Fidiansjah (Direktur pencegahan dan pengendalian masalah kesehatan jiwa dan Napza kementrian kesehatan RI), menyebutkan bahwa dampak psikososial dari PJJ selama pandemi sangat mengkhawatirkan. Studi tersebut menunjukkan dampak psikososial dimana 47% anak bosan tinggal di rumah, 35% anak khawatir akan ketinggalan pelajaran karena tidak seperti biasa dalam mengikuti pelajaran, 34% anak merasa takut Covid-19 walaupun sudah berada di rumah, 20% anak merasa kangen untuk bertemu teman-temannya, 10% anak lainnya merasa khawatir tentang penghasilan orang tua mereka menurun akibat pendemi Covid-19.
Data lain menyebutkan bahwa 11% anak mengalami kekerasan fisik karena proses belajar yang tidak lazim dan 62% anak mengalami kekerasan verbal oleh orang tuanya selama BDR. Meski saat ini pemerintah sedang menerapkan social distancing atau physical distancing kita tetap terhubung secara social melalui media yang ada karena pada dasarnya kita adalah makhluk social.
Meluangkan waktu untuk berkomunikasi dengan keluarga, teman, sahabat, guru, baik melalui pesan singkat, telepon, atau video call. Sekolah harus berkontribusi dan menyiapkan pentingnya layanan psikologi atau bimbingan konseling dari guru BK atau psikolog buat peserta didik untuk memahami kondisi kesehatan jiwa peserta didik yang perlu mendapat perhatian kondisi cemas, depresi dan trauma psikologis.
Peran penting orang tua mendampingi anak belajar selama pandemi dan membatasi penggunaan gawai (HP) atau bijak dalam memanfaatkan gawai karena dapat menyebabkan Adiksi gawai (kecanduan gawai) yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan perilaku, gangguan mental (bipolar disorder), antisosial, perasaan senang dan sedih berlebihan, depresi, keadaan tegang yang tidak biasa membedakan ilusi dengan kenyataan.
Setiap keluarga memilki ritme dan budayanya sendiri, dan tantangan saat ini adalah bagaimana menciptakan struktur yang sama sekali baru untuk menyelamatkan anak-anak kita. Pemerintah, guru dan orang tua mari bekerja sama melindungi dan menyelamatkan generasi mendatang dari dampak psikososial. (*)