Penulis: A. Rio Makkulau Wahyu (Dosen STAI DDI Sidrap, IAIN Parepare)
OPINI – Bisnis adalah bagian dari sistem sosial manusia yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dan keberlangsungan/survival hidup manusia secara saling membutuhkan demi terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Melalui interaksi sosial yakni jalur bisnis misalnya dalam perdagangan/jual-beli sebagai proses dalam tukar menukar dan saling menguntungkan demi terwujudnya tujuan ekonomi.
Dengan demikian dapat disebutkan bahwa interaksi bisnis adalah interaksi kemanusiaan, dikarenakan hal ini melibatkan manusia yang berperan penting di dalamnya. Olehnya itu seharusnya interaksi tersebut lebih membangun nilai kemanusiaan dari pada memfokuskan diri pada tujuan utama yakni memperoleh keuntungan/profit oriented.
Ketika hal ini dibawa kepada kondisi perekonomian Indonesia, dapat dikatakan bahwa persoalan ekonomi/masalah ekonomi ini muncul dikarenakan ketidaksadaran bangsa ini akan pemahaman mengenai nilai kemanusiaan (etika) itu sendiri sebagai ideologi dalam berbisnis.
Seharusnya penekanan penting dalam hal ini adalah membangun nilai kemanusiaan dan mengutamakannya karena persoalan ini terkait dengan akhlak/perilaku pebisnis kita yang justru saat ini masih kita ragukan dikarenakan mereka hanya mementingkan keuntungan semata. Hal ini dapat dilihat dengan fakta-fakta yang ada ketika paradigma perekonomian kita telah terjerumus kepada profit oriented, secara otomatis interaksi bisnis di negara ini belum sepenuhnya termanusiawikan.
Sebagai contoh dapat dilihat di beberapa media yang mengabarkan berbagai kasus-kasus kecurangan, masalah ekonomi yang tidak pernah usai, begitu juga penimbunan, monopoli, maupun spekulasi-spekulasi lainnya yang tidak lain tujuan mereka adalah untuk mencapai keuntungan semata tanpa peduli dengan yang ada pada sekelilingnya.
Sebenarnya bisnis bukan hanya pada persoalan hasil yang akan diperoleh yakni tentu saja keuntungan yang ingin didapatkan dan meminimalisir kerugian yang mungkin akan terjadi. Bisnis secara konsep memang berbicara mengenai hal tersebut tetapi jika pengaplikasiannya lebih kepada interaksi yang membangun nilai kemanusiaan yakni mereka sama-sama saling menguntungkan tanpa ada pihak yang dirugikan.
Salah satu contoh bisnis yang setiap hari kita alami dalam persoalan ini adalah jual-beli. Jual-beli yang diartikan sebagai tukar-menukar/barter, dimana jual-beli adalah tukar menukar harta dengan jalan suka sama suka/an-taradhin atau memindahkan kepemilikan dengan adanya penggantian dengan prinsip tidak melanggar syariah.
Penegasan tentang ketentuan dalam jual-beli yang harus dilakukan secara suka sama suka, tidak boleh dengan cara yang batil termasuk mengintimidasi, eksploitasi dan pemaksaan. Salah satu kondisi yang harus ditimbulkan yakni saling ridha adalah terbebasnya transaksi jual beli dari proses penipuan.
Sebagaimana Rasulullah SAW, sebagai pelaku bisnis beliau menerapkan ekonomi yang berdasarkan kejujuran sebagai etika dasar dengan tidak menyembunyikan kekurangan dan mengunggulkan barang dagangannya, melainkan berdasarkan realita sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: “Dari Abu Said, Nabi SAW bersabda: Pebisnis yang jujur dan terpercaya bergabung dengan para Nabi, orang-orang benar (Siddiqin) dan para Syuhada (pada hari kiamat)”.
Sebagai contoh kecil yang biasa kita temukan yakni para pedagang yang berlaku curang dalam takaran timbangannya, yang seharusnya timbangan berat tersebut sesuai dengan harga yang dibayarkan justru timbangan tersebut tidak mencapainya karena alat timbangan yang digunakan telah dimodifikasi sebelumnya, misalnya saja pada pedagang buah dan lainnya yang berperan curang demi memperoleh keuntungan yang lebih besar.
Padahal dalam Al-Qur’an telah tergambar jelas sebagaimana dalam Surah al-Muthaffifin ayat 1-3: “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, Yang dimaksud dengan orang-orang yang curang di sini ialah orang-orang yang curang dalam menakar dan menimbang yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi”.
Kutipan ayat ini sebagai gambaran bahwa salah satu filosofi dalam ajaran Islam dalam kegiatan ekonomi dan bisnis yakni pelarangan untuk berbuat curang dan zalim, dimana semua transaksi yang dilakukan haruslah berdasarkan prinsip kerelaan dan tidak boleh ada pihak yang menzalimi atau dizalimi. Sehingga bisnis yang sebenarnya adalah bisnis yang tidak mengabaikan nilai kemanusiaan atau etika, sehingga memberikan dampak yang positif bagi konsumen.
Hal ini sangat penting bagi keberlangsungan bisnis karena bisa jadi keberhasilan suatu bisnis tergantung pada etika pelaku bisnis sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah SAW. Etika bisnis Islam merupakan sifat yang sangat penting dan menonjol dari Nabi Muhammad SAW menjadi percontohan dalam dunia bisnis, sifat tersebut yakni: Siddiq (benar/jujur), amanah (dapat dipercaya), fathanah (cerdas), dan tabligh (komunikatif).
Dari sini, jelaslah bahwa jual beli yang dilakukan Rasulullah SAW tidak hanya didasarkan pada untung-rugi, tetapi atas dasar saling membantu. Jika cara pandang berekonomi bersifat kapitalistik yang diterapkan dan hanya melihat untung-rugi akan berdampak dan merusak sistem dan tataran sistem ekonomi, karenanya mengembalikan cara pandang berekonomi sesuai dengan ekonomi Islam yang sifatnya holistik sebagaimana yang telah di contohkan Rasulullah SAW adalah solusi persoalan ekonomi yang sedang terjadi saat ini. (*)