Penulis: Nasrum, S.Pd.,M.A. (Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar)
Sastra Sebagai Refleksi Realita
Karya sastra menurut Plato adalah keseluruhan tiruan dari realitas sosial yang ada (mimetic). Pendapat tersebut dibantah oleh muridnya Aristoteles yang mengatakan bahwa karya sastra itu bukan saja tiruan dari realitas sosial secara keseluruhan, tetapi di dalamnya juga terdapat imajinasi dan kreativitas si pengarang yang melukiskan fenomena masyarakat di zamannya. Terkadang yang kecil dibesar-besarkan, begitu pula sebaliknya yang besar jadi dikecilkan.
Disamping itu, John Dos Passos seorang sastrawan Amerika di abad modern mengatakan bahwa sastrawan adalah sejarawan kedua setelah the pure historian. Karya sastra dapat mengungkapkan fenomena sosial masyarakat di zamannya. Karya-karya sastra romantik Amerika sebelum 1900an bercerita tentang alam dan manusia, melukiskan keindahan pegunungan, hutan, laut dan tumbuhan serta interaksinya dengan kehidupan manusia yang dipenuhi oleh cinta, kasih sayang, kegigihan, keberanian, dendam, keserakahan termasuk juga perselingkuhan.
Begitu pula dengan karya-karya sastra modern Amerika setelah 1900an bercerita tentang manusia dalam nuansa modernitas menggambarkan kehidupan dunia gemerlap (dugem) yang identik dengan club malam, cafe, minuman beralkohol, dansa, mabuk-mabukan dan bahkan “free sex”. Itulah karya sastra mengungkap sejarah di zamannya. Sastra berfungsi sebagai media hiburan dan informasi selayaknya menjadi wadah introspeksi diri dalam menjalani hidup dan bermasyarakat untuk menjadi lebih bijak dalam bertindak.
Dengan membaca karya-karya sastra yang di dalamnya selalu ada tokoh protagonist, antagonist selalu ada konflik dan biasanya karakter protagonist berujung dengan happy ending, dan antagonist berujung unhappy ending bisa menjadi cerminan buat kita bahwa yang benar itu pastilah mulia dan yang salah bagaimanapun disembunyikannya tetaplah busuk.
Kekerasan, korupsi, kecurangan termasuk perselingkuhan sudah ada sejak dahulu kala. Mereka tidak saja menghinggapi manusia-manusia modern di zaman digital ini tetapi sudah ada di waktu nenek moyang kita masih hidup. Kekerasan dapat dilihat dalam Hamlet karya Shakespeare dimana paman Hamlet membunuh ayahnya untuk mendapatkan ibunya. Perselingkuhan bahkan perzinahan sudah terjadi jauh hari sebelum istilah “free sex” menjadi populer di kalangan remaja.
Dalam novel The Scarlet Letter (1850) karya Nathaniel Hawthorne bercerita tentang perzinahan yang dilakukan seorang pendeta Puritan Arthur Dimmsdale di New England bersama seorang wanita yang bersuami Hester Pryne dan menghasilkan seorang bayi perempuan bernama Pearl. Konsekuensi dari perbuatan mereka, Hester Pryne harus mengalungkan huruf “A” di lehernya kemana pun dia pergi sebagai simbol orang yang telah berzina, “A” (Adulterer)/pezina.
Kecurangan dalam diri manusia digambarkan pada novel The Great Gatsby (1925) karya F. Scott Fitzgerald dimana Gatsby sebagai tokoh utama menjalani hidup dengan menjual minuman beralkohol, membuka rumah judi dan memiliki usaha tambang ilegal yang kesemuanya itu dilarang oleh pemerintah di Long Island, USA. Gatsby melakukannya demi mendapatkan cintanya yang hilang. Dia berfikir bahwa dengan rumah mewah, uang banyak, mengadakan pesta meriah dan mobil lux bisa membuat Daisy Fay kekasihnya dulu kembali kepadanya.
Di penghujung cerita, Gatsby mati tertembak oleh karena kesalahpahaman dan pemakamannya hanya dihadiri oleh tiga orang yaitu ayahnya, seorang sahabat dan seseorang yang penasaran dengan kematian Gatsby. Padahal dia punya banyak teman yang hadir pada pesta di rumahnya dulu yang diadakan sekali seminggu diiringi musik, penuh makanan dan minuman.
Begitu pula dengan korupsi, di Indonesia korupsi telah terjadi sejak zaman penjajahan. Hal ini dapat dilihat dari novel yang berjudul Korupsi (1949) karya Pramoedya Ananta Toer. Bagaimana Bakir (tokoh utama) yang bekerja sebagai kepala kantor di salah satu instansi pemerintah menjual inventaris kantor karena merasa tidak cukup dengan gaji seorang pegawai negeri.
Dengan uang hasil korupsi Bakir menikah lagi sehingga istrinya menjadi dua. Akan tetapi, dengan uang korupsi itu pula Bakir sering mendapat musibah. Dapat dilihat sewaktu Bakir pertama kali menjual pita mesin tik kantornya, dalam perjalanan ke pasar untuk menjual pita mesin tik tersebut, Bakir menabrak seorang anak kecil di jalan sehingga uang hasil penjualan pita itu harus diserahkan kepada korban untuk ongkos rumah sakit. Sampai akhirnya Bakir harus tinggal di hotel Prodeo (penjara).
Dari gambaran cerita di atas bolehlah menjadi bahan renungan buat kita dalam menjalani hidup bahwa yang benar pastilah abadi dan yang salah cepat atau lambat pasti ada ganjaran yang setimpal. Dengan melihat fenomena yang terjadi dalam masyarakat melalui karya sastra bisa dijadikan sebagai contoh dalam kehidupan nyata. Apa yang terjadi dalam cerita-cerita fiksi itu merupakan representasi dari realitas yang ada dan bisa menjadi inspirasi buat kita ke depan. Bertindak jujur, tulus dan ikhlas pastilah dibalas dengan kebaikan dan kebahagiaan begitu pula sebaliknya berlaku kasar, kejam, serakah dan tamak menghasilkan kehancuran dan kesedihan.
Cerita lain berasal dari Fernando Torres, pemain berjuluk El Nino tersebut ternyata mengaku saat kecil sangat terinspirasi oleh tokoh kartun asal Jepang, Captain Tsubasa. Secara tidak langsung Captain Tsubasa telah berperan dalam karier pemain yang telah merasakan gelar juara dunia dan dua kali Piala Eropa bersama Spanyol, serta trophy Liga Champions bersama Chelsea beberapa tahun yang lalu. “Saya ingat ketika masih kecil belum bisa mendapatkan sinyal televisi yang bagus. Namun setiap orang di sekolah saya membicarakan tentang sebuah film kartun sepak bola dari Jepang,” ujar Torres beberapa waktu lalu kepada wartawan salah satu Koran di Kota Makassar.
Di Spanyol serial tersebut berjudul Olivery Benji. Namun di Jepang dan negara lain termasuk Indonesia dikenal dengan Captain Tsubasa. Kartun ini berkisah tentang dua anak yang bermain bersama sejak kecil, dipanggil ke tim nasional, memenangi Piala Dunia, dan bermain untuk klub Barcelona dan Bayern Munchen. “Saya mulai bermain sepak bola karena kartun itu dan tekanan saudara saya,” jelas Torres yang kini berusia 34 tahun.
“Saya ingin seperti Oliver (Tsubasa, red) karena dia seorang striker dan Benji adalah kipernya. Ini kontak pertama saya dengan hal-hal yang berkaitan dengan Jepang,” kenang mantan pemain Atletico Madrid dan Liverpool tersebut kepada wartawan di Makassar beberapa waktu silam.
Dengan memahami isi drama Hamlet, jangan lagi ada kekerasan di bumi ini. Membaca The Scarlet Letter berarti tidak lagi ada perselingkuhan dalam rumah tangga. Menikmati novel The Great Gatsby menuntun pembaca untuk bekerja, berdagang dan berbisnis secara jujur dan halal. Mendengar cerita Torres di atas, mungkin saja kita juga masing-masing punya tokoh inspiratif yang dituangkan lewat karya fiksi seperti Captain Tsubasa, yang dapat membawa kita mencapai kesuksesan.
Merenungkan pesan moral novel Korupsi mengajak para bapak-bapak dan ibu-ibu pejabat untuk tetap memimpin secara arif, bijaksana dan ikhlas, tidak memakan uang rakyat, memberikan hak kepada yang berhak.
Sastra membawa nilai positif
Salah satu dampak sastra adalah mengukuhkan nilai-nilai positif dalam pikiran dan perasaan manusia. Manusia bisa kreatif, bisa berwawasan luas bahkan bisa menjadi pemimpin yang baik apabila ia menimba nilai-nilai yang dituangkan oleh pengarang dalam karya sastra. Dalam era digital ini, kita dituntut selain memiliki kualitas yang tinggi dalam Iptek agar mampu bersaing dan menentukan terobosan baru, juga dituntut agar bermoral dan berperilaku yang baik sehingga dapat membaktikan ilmu pengetahuan dan teknologi itu untuk kepentingan yang luhur.
Dalam karya sastra, baik puisi, drama maupun prosa, butir-butir moral seperti itu banyak terungkap dan dapat dijadikan kajian, renungan dan pegangan bagi pembacanya. Karya sastra harus mampu menggugah kesadaran masyarakat untuk menyerap dan mengolah pengaruh dari luar. Suatu harapan ke depan, karya sastra tidak perlu bersikap malu-malu, ragu-ragu atau curiga terhadap perkembangan Iptek. Karya sastra justru dapat mampu mengembangkan sikap positif terhadap perkembangan Iptek yang tak dapat dibendung itu (Djojonegoro, 1998: 425).
Karya sastra selalu memberi pesan atau amanat kepada pembaca untuk berbuat baik. Pembaca diajak untuk menjunjung tinggi norma-norma moral. Dengan cara yang berbeda sastra, filsafat dan agama dianggap sebagai sarana untuk menumbuhkan jiwa kemanusiaan yang halus, manusiawi, dan berbudaya (Zoeltan, Andi 1984: 79). Menurut George Santayana dalam Suyitno (1985:4), sastra dapat juga berperan sebagai penuntun hidup.
Masyarakat yang terbiasa membaca karya sastra akan lebih peka dan bijak dalam menjalani dan memahami arti kehidupan. Mereka akan bertindak lebih arif dan bijaksana. Membaca sastra juga akan membangun pemahaman kita terhadap kondisi sejarah di mana karya sastra itu muncul. Begitu pula dengan anak-anak yang gemar membaca karya-karya fiksi, mereka akan lebih kreatif dalam menyelesaikan satu masalah dan berwawasan luas. (*)