Home Berita Opini; The Problem of Generation

Opini; The Problem of Generation

by ilham

Penulis: Eva Irawati, S.Si.,M.Pd (Tenaga Pendidik SMA Negeri 5 Parepare)

OPINI – Perkembangan zaman dan teknologi semakin cepat apalagi dimasa pandemic Covid-19 pengguna internet dan media social meningkat tajam, hal ini perlu disikapi dengan bijaksana. Kondisi sekarang menjadi tidak sehat, tantangan para guru dimana di tempatkan pada posisi gamang menghadapi cepatnya perubahan yang terjadi pada anak-anak generasi milenial dan generasi Z yang berlari sangat kencang dalam teknologi ditambah dengan perubahan perilaku dan kepribadian yang semakin bebasnya perubahan nilai moral, social dan budaya baru.

Dalam teori generasi (generation theory) terdapat 5 generasi yaitu generasi babyboomer yang lahir tahun 1946-1964, generasi X yang lahir tahun 1965-1980, generasi Y yang lahir tahun 1981-1994, generasi Z yang lahir tahun 1995-2010, dan generasi alfa yang lahir tahun 2011-2025. Generasi yang di hadapi dalam dunia pendidikan sekarang yang terbanyak adalah generasi Z (disebut juga igeneration, generasi net atau generasi internet) yang terlahir dari generasi X dan Y.

Para akademisi menyebut sebagai generasi mutan karena sangat berbeda dari generasi sebelumnya dari segi moral, etika dan pola pikir. Guru maupun orang tua peserta didik seringkali muncul keluhan tentang sikap anak zaman sekarang dengan zaman mereka dulu terkait sikap, cara belajar, kegigihan dan cara memandang sesuatu.

Dikutip dari businessinder.com, sifat independen, bebas, keras kepala, pragmatis, dan terburu-buru adalah sifat alami generasi Z (gen Z). Generasi ini sangat akrab dengan dunia digital dan internet, bahkan mungkin tidak bisa hidup tanpa keduanya. Gen Z adalah anak-anak yang berada dalam sebuah krisis terlihat dari cara pandang mereka. Kebanyakan mudah stress dengan apa yang mereka lihat khususnya dalam hal belajar, ekonomi maupun lingkungan.

Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa generasi Z menghabiskan setidaknya 10 jam di depan layar laptop/komputer atau hp. Media social merupakan salah satu racun utama mereka, soal membaca buku kebanyakan gen Z membaca loncat-loncat dan tidak tuntas, gampang bosan saat belajar dan mengerjakan tugas-tugasnya, suka serba cepat dan instan karena terbiasa dengan kemudahan teknologi hal ini menjadi faktor kesulitan dalam belajar.

Dalam hal komunikasi mereka lebih asyik berbicara di dunia maya daripada berbicara langsung secara tatap muka. Yang khas dari generasi ini adalah self educator. Mereka bisa belajar secara otodidak segala hal dari internet. Jago multitasking, melakukan beberapa tugas secara bersamaan, mobilitas serta aktivitas yang tinggi membuat gen Z terbiasa melakukan banyak hal dengan cepat.

Bagaimana mengajar mereka? Mengutip teori evolusi Darwin, yang mampu bertahan hidup bukanlah yang paling pintar atau paling kuat, tetapi yang mampu beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Organisme yang tidak adaptif dengan lingkungannya akan terseleksi atau punah.

Jadi untuk memahami karakter gen Z menjadi keharusan agar guru bisa beradaptasi dengan perilaku dan kebiasaan mereka. Pertama guru harus melek digital (berteman dengan aplikasi) memahami dan mahir/mengenal kecanggihan teknologi yang ada pada saat ini, kedua memanfaatkan kecanggihan teknologi sebagai sumber belajar dan komunikasi pembelajaran dengan pengawasan dan kontrol yang bijak, ketiga guru harus menjadi role mode untuk melahirkan generasi yang cerdas dan berkarakter di era generasi milenial. Keempat menjalin komunikasi dan berkolaboratif dengan mereka, sebuah riset menemukan fakta bahwa gen Z adalah generasi yang paling banyak mengidap gangguan kesehatan mental terutama terkait perundungan di media social, para ahli juga menyebut gen Z sebagai generasi yang paling kesepian meskipun mereka terlahir di era internet.

Mengenali kondisi peserta didik yang depresi, antisosial, minoritas, berkebutuhan khusus dan menyimpang. Menurut Future of Jobs Report, Word Economic Forum 2016 Gen Z harus disiapkan menjadi generasi penerus yang memiliki skill atau kemampuan: Critical thingking, creativity, people management, complex problem solving, coordinating with others, emotional intelligence, judgement and decision making, service orientation, negotiation, dan cognitive flekxibility.

Yang berprofesi sebagai guru saat ini hanya memiliki satu pilihan: “berkembang atau mati (survive or die)”, mengerti tentang teknologi tidak harus ahli, cukup paham dan mampu mengaplikasi sudah lebih dari cukup. Apakah sudah siap jadi guru milenial? (*)

About The Author

Related Articles

1 comment

Adhitya 20 Agustus 2020 - 12:13 am

Setuju banget dengan tulisan Bu EVa

Dan harus lebih dalam dan lebih sering dibahas problem seperti ini Bu

Agar para milenials kita sadar bahwa masalah ini masalah yang serius dan bisa mengancam masa depan mereka

Makasih tulisannya Bu Eva

Reply

Leave a Comment