KELASTER.COM,MAKASSAR – 21/2/2021) – Sampah momok bersama. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merilis produksi sampah nasional mencapai 175 ribu ton per hari. Rerata satu penduduk Indonesia menyumbang sampah 0.7 kg per hari, sebagian besar mengalir ke laut dan sungai.
Sampah-sampah tersebut – terutama plastik – telah menjadi persoalan bagi keberlanjutan ekosistem perairan serta dapat menjadi bencana untuk umat manusia di masa kini dan nanti.
Relevan dengan itu, Pemda Takalar bersama Yayasan AS Center menggelar Temu Warga Desa Bersih serta Lokakarya Pengelolaan Sampah di Desa Galesong, Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar, 21/2/2021.
Temu wicara menghadirkan narasumber Prof Dr H Aminuddin Salle, S.H, M.H atau yang biasa disapa Karaeng Patoto. Guru Besar Hukum Agraria Unhas itu adalah founder Balla Barakkaka ri Galesong yang selama ini giat mengkampanyekan sungai bersih.
Bersama Karaeng Patoto, hadir pula Asrul Hoesein, praktisi pengelolaan sampah tingkat nasional yang sekaligus Direktur Eksekutif Green Indonesia Foundation dan telah sering menjadi narasumber semonar dan workshop pengelolaan sampah.
Nampak pula Mundhakir, Senior Manager SDM dan Umum PLN Sulselrabar, Dr Buyung Romadhoni (Unismuh), hingga praktisi social media Kamaruddin Azis serta perwakilan Pemerintah Desa dari beberapa desa di Galesong.
Di depan tidak kurang dua puluh orang peserta yang umumnya merupakan generasi muda Galesong tersebut dibagikan pengalaman Yayasan AS Center dalam mendorong promosi kebersihan sungai, lingkungan dan pemberdayaan warga Galesong melalui pengelolaan sampah dan pengembangan mata pencaharian.
“Pihak kami telah memfasilitasi pelatihan-pelatihan peningkatan kapasitas masyarakat di Galesong dengan memanfaatkan Balla Barakkaka ri Galesong sebagai pusat kegiatan,” jelas Karaeng Patoto saat memberi sambutan.
“Program bersih sungai, atau desa bersih adalah program kolaboratif kami belakangan ini. Ini semestinya bisa menjadi basis pengembangan ekonomi warga, bisa melalui bank sampah hingga pemanfaatan sampah daur ulang seperti yang telah kami jalankan sejauh ini,” tambah Karaeng Patoto.
“Dampaknya sudah mulai terlihat, dari kampung yang dulu kumuh, sungai yang penuh sampah, kini secara perlahan semakin tertata, nyaman dilihat. Peluang pengembangan wisata sungai dan rekreasi ke Balla Barakkaka kian terbuka,” imbuhnya.
Sementara itu, Asrul Husen yang berpengalaman selama belasan tahun dalam pengelolaan sampah membagikan perspektifnya tentang perlunya kelembagaan dan jaminan keberlanjutan program.
“Untuk keberlanjutan, pengalaman kami adalah dengan mendorong pendirian koperasi pada tingkat kabupaten,” sebut pria yang berdomisi di Jakarta namun punya pengalaman memfasiitasi proyek-proyek daur ulang serta pengorganisasian pengelola sampah ini, baik di Jakarta, Surabaya, Bone hingga Palembang.
Asrul memotivasi peserta pertemuan untuk lebih fokus pada pemberdayaan unit rumah tangga dalam memulai gagasan desa bersih dari sampah ini, misalnya bagaimana menerapkan komposter sampah organik hingga produksi pupuk organik dari sampah.
“Saya setuju bahwa kolaborasi dalam pengelolaan sampah ini dibutuhkan, tetapi yang lebih penting adalah perlunya jaminan keberlanjutan melalui pelembagaan,” tegas pria yang menyebut bersedia membantu kelompok pengelola, atau bank sampah dengan memberi informasi ke pihak mana produk-produk olahan dapat dipasarkan dengan menguntungkan.
Sementara itu, Kamaruddin Azis yang ikut memberi tanggapan memberi penekanan pada perlu pelibatan masyarakat secara luas sebagai penginisiatif kegiatan atau gerakan sehingga dapat berkelanjutan.
“Inisiatif harusnya datang dari masyarakat, kalau pun ada ide seperti pengelolaan sampah atau desa bersih seperti ini, maka perlu pendekatan, perlu fasilitasi, dengan ‘mencuri’ hati warga memahami hakikat melembaga itu,” ucapnya.
Menurutnya, untuk tidak mengulang gagalnya beberapa koperasi seperti selama ini, maka pelembagaan ini bisa dimulai dari skala kecil.
“Kelompok usaha bersama seperti yang dijalankan di Balla Barakkaka ini mungkin bisa dilembagakan seperti koperasi pengelola sampah tetapi sekali lagi inisiatifnya harus datang dari warga,” katanya.
Masukan konstruktif mengenai masa depan desa bersih juga disampaikan oleh Senior Manager SDM dan Umum PLN Sulselrabar, Mundhakir. Untuk mendukungan gerakan sungai bersih atau desa bersih itu, PLN telah mengalokasikan dana CSR.
“Pihak kami telah berkomitmen untuk membantu Balla Barakkaka dalam memfasilitasi program sungai bersih, termasuk memperkuat kapasitas warga melalui pelatihan-pelatihan peningkatan kapasitas terkait proses daur ulang sampah dan aneka kerajinan tangan,” jelasnya.
Pihak PLN Sulselrabar beberapa waktu lalu telah mendukung pelatihan anyaman bambu di Balla Barakkaka ri Galesong, mendukung pengembangan bank sampah hingga aksi bersih sungai dengan bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Takalar dan Yayasan AS Center.
Untuk tingkat desa, Penjabat Kades Galesong Husein Romo menyebut bahwa pihaknya telah menganggarkan dana untuk pengadaan bak sampah.
“Anggarannya 50 juta, dengan harapan dapat berkontribusi pada pengumpulan sampah rumah tangga sebelum dijemput unit pengumpul sampah Pemda Takalar sebelum ke TPA di Desa Kalukuang,” katanya.
Dr Buyung Romadhoni dari Universitas Muhammadiyah Makassar yang berperan sebagai moderator pertemuan menyimpulkan bahwa demi mewujudkan desa atau lingkungan bersih dari sampah maka partisipasi para pihak niscaya.
“Program kolaboratif bisa didesain bersama, melibatkan masyarakat, Pemda termasuk perusahaan melalui skema CSR hingga perguruan tinggi. Partisipasi dapat dikontribusikan melalui pengalokasian sumber daya serta kerja kolaboratif pada berbagai level. Kuncinya, pastikan masyarakat sebagai inisiator gerakan,” imbuhnya.
“Pemda Takalar bersama AS Center melalui Balla Barakkaka di Galesong semoga bisa menjadi pioneer dalam mewujudkan Desa Bersih dengan program berkelanjutan, berbasis masyarakat dan memberi dampak ekonomi, sosial dan lingkungan,” pungkas doktor ekonomi Universitas Brawijaya Malang ini. (rls/ilo)