Penulis : Rio Makkulau Wahyu (Dosen STAI DDI SIDRAP, IAIN PAREPARE)
OPINI – Aku ini bukan apa-apa tanpa Rakyat, aku besar karena Rakyat, aku berjuang karena Rakyat, dan aku penyambung lidah Rakyat (Ir. Soekarno). Itulah ungkapan presiden pertama kita yang membuat rakyat saat itu menjadi semangat dan semakin meningkatkan jiwa nasionalis untuk membangun bangsa dan negeri ini semakin maju.
Sosok pemimpin yang menjunjung tinggi sifat nasionalis, menjadi sosok yang berapi-api dan terdepan untuk segera mengatasi keresahan dan masalah rakyatnya, menjadi pembakar semangat untuk rakyat, teguh sekaligus sensitif melihat rakyatnya susah maupun sedih, takut untuk tidak ikut serta dalam membantu rakyatnya, dan sangat membutuhkan dukungan sosial karena ia adalah sosok yang merakyat, sosok pemimpin yang memperhatikan segala rupa rakyatnya, sosok pemimpin yang mengerti segala pihak tanpa memihak, sosok pemimpin yang merangkul rakyatnya bukan justru menjajahnya bahkan menindasnya, sosok pemimpin yang adil dan bijaksana bukan justru sosok yang rakus lagi tamak, sosok pemimpin yang amanah bukan justru sosok yang penuh muslihat/tipu lagi munafik. Itulah sosok pemimpin yang kita impikan bersama, pemimpin yang ideal untuk membangun bangsa dan negeri ini lebih baik lagi dalam melihat rakyatnya, lebih peka dan empati mengatasi tangisan rakyatnya. Adakah sosok pemimpin seperti ini? Ataukah ini hanyalah sebuah khayalan anak kecil saja, bahwa kelak negeri kita tercinta akan dipimpin oleh orang bijak yang peduli dengan kepentingan rakyatnya bukan justru kepentingan diri, ego dan kelompoknya!
Sebagai sebuah gambaran ada pesan yang bisa kita jadikan pembelajaran dalam memimpin, agar kelak kita jauh lebih bijaksana dalam amanah yang telah menjadi tanggungjawab kita, bukan justru hanyut akan jabatan sehingga kita jadi lupa diri bahwa sesungguhnya kita adalah pelayan rakyat bukan raja. Pesan itu dari khalifah Umar bin Khattab. Khalifah Umar terkenal memerintah dengan adil dan bijaksana, ia gemar meninggalkan istana untuk menyamar menjadi rakyat biasa dengan berpakaian penuh tambalan untuk melihat kondisi rakyatnya. Suatu ketika khalifah Umar menjumpai seorang nenek tua yang tinggal di sebuah gubuk dengan kondisi yang memperhatinkan, nenek itu rupanya tidak tahu kalau laki-laki yang ia temui itu adalah khalifah (pemimpin negara) lantara pakaian yang ia kenakan menyerupai pengemis.
Umar pun bertanya ke nenek tersebut “apa nenek tahu tentang khalifah Umar? Menurut nenek bagaimana beliau dalam memimpin?” “Iya, semoga Allah tidak memberinya ganjaran yang baik, Umar itu sahabat Rasulullah yang sangat dekat, tetapi ia tidak mencontohi perilaku Rasulullah yang sangat sederhana dan dekat dengan umat, sementara Umar hidup di istana dan jauh dari rakyatnya. Seorang pemimpin harusnya tahu keadaan semua rakyatnya walau itu di tempat terpencil sekalipun, bukan justru berbuat zalim dengan tidak peduli dengan kondisi kami.” jawab nenek tersebut. Umar pun berkata “Aku akan membeli kezaliman Umar terhadap nenek sebagai tebusan atas kezaliman tersebut, aku akan memberikan 25 dinar agar nenek ridha kepada umar apakah ini cukup untuk menebusnya?” nenek tersebut heran melihat laki-laki tersebut, bagaimana mungkin orang ini punya uang sebanyak itu, lantara ia sendiri terlihat miskin dengan baju yang penuh tambalan. “Ah, jangan main-main dengan orang tua, Nak” kata nenek tersebut. Umar pun memberikan uang 25 dinar ke nenek tersebut, dengan wajah yang kaget nenek itu pun bertanya kepada Umar “siapa sebenarnya engkau Nak?” Ketika itu lewatlah sahabat Umar, Ali dan Abdullah mendatangi Umar dan menyapa dengan sebutan Amirul Mukminin (pemimpin kaum mukmin). Terkejutlah nenek tersebut, ternyata laki-laki itu adalah khalifah Umar sendiri. Nenek itu menjatuhkan dirinya dan mohon ampun atas tuduhannya terhadap khalifah Umar. Khalifah Umar pun tersenyum dan berterima kasih kepada nenek tersebut yang mengingatkannya untuk lebih peduli terhadap rakyatnya dan mencari-cari rakyat yang mengalami kesulitan. Umar menyerahkan 25 dinar lalu menyobek tambalan bajunya dan menulis “Dengan ini Umar menebus kezalimannya terhadap nenek tua yang merasa dizalimi Umar sejak menjadi khalifah sampai ditebusnya dosa itu dengan 25 dinar, jika nenek tua itu menuntut Umar di hari akhirat kelak, Umar sudah bebas dan tidak punya tanggungan lagi”. Surat pernyataan itu ditandatangani oleh Ali dan Abdullah sebagai saksi. Khalifah Umar berpesan “simpanlah surat ini, jika aku mati nanti sisipkan di kain kafanku, akan kubawa menghadap Allah”. Pesan ini memberikan kita pelajaran bahwa betapa beratnya amanah menjadi seorang pemimpin, khalifah Umar telah menebus kesalahan kepada rakyatnya, supaya kelak di akhirat tidak dituntut atas kekeliruannya dalam tanggungjawabnya sebagai seorang pemimpin. Bagaimana dengan pemimpin kita kedepan? Bagaimana dengan wakil kita nantinya? Bisakah mereka amanah menjadi pemimpin kelak? Bisakah mereka bertanggungjawab menjadi wakil rakyat nantinya? Ataukah justru mereka akan ingkar dan melanggar janjinya, semoga mereka yang terpilih nantinya tetap amanah dan tidak berpura-pura tuli dan buta mendengar dan melihat rintihan rakyatnya!
Terlebih nantinya kita akan mengalami pesta demokrasi pemilihan kepala daerah (Gubenur, Wali Kota, dan Bupati) pada tahun 2020 digelar secara serentak untuk daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada tahun 2021. Sistem pemilihan kepala daerah secara serentak pada tahun 2020 merupakan yang ketiga kalinya diselenggarakan. Pelaksanaan pemungutan suara direncanakan digelar secara serentak pada bulan Desember 2020. Total daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2020 sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Kita doakan saja yang terbaik untuk bangsa ini. Yang jelas rakyat punya banyak kepercayaan untuk negeri ini, tapi negeri ini kekurangan orang baik untuk diberikan kepercayaan itu, semoga pemimpin kita kedepannya telah menjaminkan jiwa dan raganya sepenuhnya untuk rakyat.(*)